Bandung, (25/10/2022) – Setiap orang tua mendambakan anak yang salih dan cerdas, kemudian tumbuh menjadi pribadi muslim yang kaffah (paripurna). Pribadi muslim paripurna memiliki keseimbangan multi kecerdasan baik spiritual, intelektual, sosial emosional, dan kedayatangguhan. Muslim paripurna buah dari proses panjang pendidikan anak sejak dini, dan bahkan sejak periode prenatal  atau sebelum masa kelahiran dimana kumandang doa sudah harus membasahi lisan orang tua tanpa terputus agar beroleh anak yang salih dan cerdas.

  • Spiritual: melaksanakan ibadah shalat dan ibadah lainnya dengan sungguh-sungguh dan bergairah.
  • Intelektual: motivasi belajar/semangat berprestasi tiada henti
  • Emosional: membangun konsep diri secara positif dan mampu mengendalikan diri
  • Sosial/relationship: menjalin dan menjaga keharmonisan dubungan dengan teman dan lingkungannya secara produktif dan mengandung kebaikan.

Pentingkah doa orang tua sejak prakelahiran? Ya, ingat ada teratologi dan risiko dalam perkembangan prakelahiran agar anak bisa lahir tanpa adanya unsur yang berpotensi mengakibatkan kalainan kelahiran atau secara negatif menyebabkan perubahan kognitif dan perilaku.

Baik, ada tiga fase utama dalam pendidikan anak mulai dari penanaman aqidah yang benar dengan tidak mempersekutukan Allah SWT (Q.S. Luqman: 13), berbuat baik dalam bentuk ketaatan pada orang tua kecuali mengajak kemusyrikan (Q.S. Luqman: 14-15), serta membangun etika otonom bagi anak (Q.S. Luqman: 16). Kesemua tahapan ini terjaga dan terpelihara dengan dukungan lingkungan pendidikan informal di rumah yang benar serta pendidikan formal di madrasah yang mengedepankan nilai-nilai multi kecerdasan.

Apa itu etika otonom?  Lingkungan internal dengan pola asuh pendidikan di rumah baiknya bercermin pada pribadi seorang Luqman Al-Hakim. Beliau seorang bijak  yang memiliki keyakinan yang bagus, mencintai Allah, dan sebab itu Allah Ta’ala mencintainya, kemudian Dia anugerahkan kepadanya kebijaksanaan serta namanya diabadikan dalam Al Quran dan Hadits.

Luqman Al-Hakim menginduksi putranya tentang nilai-nilai moral sebagaimana Q.S. Luqman: 16: ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti”.

Etika otonom adalah fitrah insaniah dimana muncul kesadaran bahwa Allah Ta’ala senantiasa mengawasi, membersamai hidup dan kehidupan melalui sang pencatat super canggih yang memiliki memory unlimited yaitu malaikat pencatat amal perbuatan manusia dikenal dengan sebutan kirâman kâtibîn (كِرَامًا كَاتِبِينَ ), yakni dua malaikat yang berada di bahu kanan dan kiri setiap makhluk-Nya.

Kesadaran bahwa sekalipun ulah manusia bersembunyi di puncak langit, di dasar lautan yang paling dalam, di tengah bebatuan hitam di malam hari sekalipun, Allah Ta’ala pasti mengetahui dan memberikan balasan yang seadil-adilnya. Allah Mahateliti!

Kebaikan walau tidak ada yang melihatnya, tidak disebar di media sosial dan jaringan komunikasi online lainnya,  tangan kanan tidak melihat apa yang diinfakkan oleh tangan kiri maka Allah Ta’ala akan datangkan kebaikan sedikit apa pun pada hari kiamat. Ketaatan tidak ada yang luput dari perhatian Allah dan akan ada balasannya demikian sebaliknya.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7).

Nabi  bersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah kamu menganggap remeh sedikitpun terhadap kebaikan, walaupun kamu hanya bermanis muka kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu.”  

Refleksi pribadi yang memiliki etika otonom khususnya bagi seorang anak yang terpelihara sampai dewasa adalah :

  1. Senantiasa melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh dan bergairah (ini sebagai cerminan cerdas spiritual),
  2. Motivasi diri untuk belajar memperbaiki diri dan menambah prestasi tiada henti (cerdas intelektual),
  3. Membangun konsep diri positif dan mampu mengendalikan diri (cerdas sosial emosioal),
  4. Serta menjalin dan menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama dan lingkungannya secara produktif dan membangun kebaikan (cerdas kedayatangguhan).  

Oleh Dr. Hafid Djanuardi, M.M (Kepala Divisi Pendidikan MIMHa)

5 thoughts on “Membangun Etika Otonom

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *